oleh: Indah Tri Rahayu
Libur ujian Nasional sudah berlalu, tapi semuanya masih hangat dalam ingatanku. Biasanya, tiap libura ujian Nasional aku memilih ke rumah Irma, sepupuku di Banjarmasin. Disana aku menghabiskan waktu dengan menikmati tiupan angin sepanjang pantai depan gubernuran hingga jembatan merdeka. Aku sendiri heran, kenapa seperti tak ada tempat lain. Pilihannya itu-itu aja. Bagiku, melihat Banjarmasin yang hanya bisa kulakukan setahun sekali lebih klop jika berada di Taman Siring. Terasa, setiap tahun ada perubahan. Sepanjang taman Siring tiap Sabtu sore penuh dengan aneka karakter manusia. Tahun sebelumnya, belum kulihat ada anak-anak punk mangkal disana, kali ini anak-anak punk bebas berekspresi dengan komunitasnya. Aman-aman saja, karena memang mereka tak membuat ulah. Belum lagi menyaksikan indahnya percikan air barisan pemadam yang berlatih,dimataku seperti lengkungan pelangi . Para penjual pentol mendominasi arena taman sore itu dan aneka softdrink sebentar saja habis diserbu pembeli. Menikmati sore sepanjang sungai Martapura diseling bunyi mesin klotok yang lalu lalang dan sesekali kulihat elang terbang mencari mangsa. Bagiku benar-benar sebuah pemandangan uniik. Tak terasa berjam-jam aku betah disitu. Sambil menikmati tahu gunting dan es nyiur, aku bercanda bersama Irma.
“Indah, tuh..liat, ..di sebrang sana, itu yang namanya rumah lanting..kamu bisa bayangin nggak, lagi ngapain penghuninya di dalam..” tanya Irma tiba-tiba.
“ Pasti lagi makan siang…terbalik nggak ya, kuahnya,,kalau pas klotok lewat.?’” Aku balik bertanya.
“Emang kamu yakin mereka makan pakai sayur…paling-paling yang terbalik air minumnya…he..he ..tawa kami berbarengan.
Itulah enaknya sama Irma, ada aja yang diomongin. Tak terasa, senja beranjak malam. Kumandang azan magrib menyentuh sanubariku. Kami beringsut, bergegas menuju arah masjid di berang taman. Memanjakan mata dan pikiran sepanjang sore di taman siring tak membuat kami lupa untuk melaksanakan kewajiban kami menghadap Sang Pemberi Nafas.
Usai shalat magrib kami kembali cuci mata menikmati pergantian waktu. Pohon lampu-lampu neon berwarna-warni begitu indah. Berkelap-kelip meliuk-liuk bagai seribu kunang-kunang menari indah. Aku mensyukuri betapa indahnya pemberian Sang Maha Pemberi. Kota Banjarmasin, taman Siring semakin Bungas di mataku. Kapan kota ku secantik ini? Aku yakin tak lama lagi.
Darr… tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang, membuyarkan lamunanku setahun lalu tentang Banjarmasin. Aku betul-betul terkejut..Irma..sepupu centilku ini datang berlibur ke kotaku. Tak ada pemberitahuan kapan ia akan datang, kukira dua hari lagi. Ternyata Irma curi start..ia libur lebih dulu dan merengek-rengek pada ibunya agar bisa berlibur ke kotaku. Irma..Irma..apa yang kamu lihat di kota kecil yang baru merangkak ini? Tapi aku tahu Irma, kepalanya lebih keras dari batok kelapa.
Menghabiskan libur di kota B, bagiku sama sekali tak ada yang menarik. Apa yang bisa kutunjukkan ke Irma. Danau-danau terlantar bekas galian batubara? Debu yang menyesakkan nafas, deru mesin-mesin truk pengangkut batu bara, atau gunung-gunung yang kini telah berbentuk jurang, atau …ah, aku bingung apa yang mesti kutunjukkan tentang kotaku. Aha,..ada Goa Batu Hapu yang menyimpan legenda Radin Pangantin, Si Anak Durhaka.. ada sirkuit Balipat yang berskala internasional dan stadion sepakbola yang juga berskala internasional. Tapi bagaimana bisa kutunjukkan. Jika tak ada event kegiatan, pintunya terkunci. Tak apalah, kami bisa melihatnya sejenak dari luar. Semua kutawarkan pada Irma, apa yang akan dipilihnya terlebih dulu. Tepat dugaanku… The Legend of Goa Batu Hapu…itu pilihan pertama Irma.
“Indah,.. besok pagi kita ke Batu Hapu ya,..kamu berani kan ngantar aku kesana?” tanya Irma tak memberiku kesempatan menolak.
“Oke..non..pagi-pagi, kita siap meluncur bersama” jawabku tak kalah semangat.
Usai sarapan pagi, kami bergegas memanaskan mesin sepeda motor. Jarak Goa Batu Hapu hanya sekitar 12 km dari rumahku. Dalam setengah jam aku yakin, kami pasti sudah berada di kerindangan pohon-pohon karet yang menaungi gua legenda itu. Sudah kubayangkan, Irma akan sibuk jepret sana-sini, mengabadikan stalagtit yang menggantung indah di dinding-dinding gua. Ratusan kelelawar yang bergelantungan dalam gua tak akan menjadi penghalang bagi Irma untuk mengelilingi gua. Aku heran, cewek centil yang satu ini petualang banget. Entah darimana darah itu mengalir. Ayah ibu, dan kakak nya home sweet banget.
Menikmati udara pagi menuju gua batu hapu serasa melonggarkan nafasku yang seharian sesak menghisap udara bercampur debu dan asap kanlpot. Sayang, perjalanan tak sesuai yang kami harapkan. Tiba-tiba ban sepeda motor kami kempes. Sial… padahal kami igin berlena-lena menikmati segar udara sekeliling gua. Wajah Irma terlihat cemberut…
“Jangan cemberut..ntar cepat keriput…lama-lama jadi nini kisut…hi..hi…” candaku sambil menuntun sepeda motor. Irma mengusap peluh yang mengalir di wajahnya.
“Tuch…di depan ada bengkel..santai aja muhanya…” candaku lagi.
‘Paman..paman..paman…ui…urangnya….” seru Irma. Tak ada sahutan. Kami heran, padahal jelas-jelas bengkel tambal ban ini buka.
“Kita tunggu aja..barangkali pamannya lagi kebelet..” ucap Irma .
Sambil menunggu, kami iseng melihat-lihat sekitar. Sayup-sayup, telingaku mendengar suara music. Bukan..bukan music, tepatnya seperti suara panting. Yah..aku hafal dengan suara panting. Sebab setiap sore, setiap kali kubuka televisi local..terdengar bunyi music tradisional yang melagukan Paris Barantai. Makanya, meski tak pernah kulihat langsung music panting, setidaknya aku sering mendengarnya. Aku tak pernah tahu secara langsung seperti apa bentuknya. Semacam gitarkah, atau biola? Jika kulihat lewat gambar seperti gitar kecil mainan adikku. Tapi bunyinya seperti biola. Ah, tak peduli bentuknya seperti apa. Yang jelas aku sangat menyukainya. Pernah suatu kali aku ke toko buku di Banjarmasin Senangnya hatiku, saat itu music panting dibunyikan. Kucari di stand kaset dan CD berharap semoga music yang lagi kedengar saat itu ada dijual. Pencarianku sia-sia. Pelan dan malu-malu kutanya petugas.
“Mbak..musik panting yang lagi diputar ini ada nggak kaset/CDnya..?” tanyaku
“Oh..nggak..ada..ini juga kami down load dari Swiss Bell Hotel…” jelas petugas cantik itu dengan ramah.
“GimAna dong Mbak, cara dapetin..aku pengiiin…banget..boleh dong Mbak kita ngopi..” tanyaku nekad.
“Wah..nggak bisa Dik, kita nggak berani, ngaak ada ijin, ntar malah kita masuk penjara karena menggadakan tanpa seijin pemilik..he..he..” jelas Mbak itu ramah.
Aku kecewa berat..kenapa music ini sulit banget di dapat. Gimana mau cinta music daerah, kalau nggak dijual bebas kayak kaset-kaset lain, lama-lama nanti di klaim Malaysia tu..sebagai music daerahnya..Batik udah, Rasa Sayange udah, Tari Bali udah…jangan-jangan nanti kalau panting di dengar Malaysia, di klaimnya lagi…uhh…sebal..gumamku sendiri .
Suara panting itu kian dekat. Aku tak tahu lagu apa yang dimainkan. Terasa terdengar berbeda. Tajam menusuk-nusuk, pedih menyayat-nyayat. Sepertinya dimainkan dengan nada marah dan kecewa. Aku dan Irma terus mendekat ke sumber bunyi. Sebuah rumah bercat hijau halamannya tak terawat, daun-daun gugur berserakan. Kami ucapkan salam. Tak ada sahutan. Bunyi panting itu kian jelas terdengar. Nadanya kian tak beraturan, kian menyayat-nyayat. Kami berpandangan, ada sedikit keraguan di hatiku. Irma tetap seperti biasa. Tegar tak ada rasa was-was di wajahnya.
“Assalamualaikum…” ini sudah ketujuh kalinya kami mengulang.
Sikap nekad Irma mulai kambuh. Dicobanya membuka pintu, tak terkunci. Lagi-lagi kami berpandangan. Masuk atau tidak ya... Nekad kami masuk. Pelan dan sambil komat-kamit, kubaca Shalawat Nabi sebanyak-banyaknya, masuk rumah orang tanpa permisi jelas ini pertama kali. Di dalam ruangan semakin terlihat kotor, menunjukkan rumah ini tak terawatt, padahal jelas-jelas ada penghuninya. Paling tidak bapak-bapak pemain panting tadi, pikirku. Musik itu masih dimainkan. Kami menuju ke kamar.
Astaga…benar-benar diluar dugaan kami. Seorang anak yang kutaksir berusia 13 tahun duduk di samping dipan menunggui ayahnya yang sakit. Melihat kami masuk, ia menghentikan permainannya. Wajahnya kurus, tatapan matanya tajam memandang kami. Irma mengenalkan diri terlebih dulu. Aku menyusulnya. Kukira yang memainkan panting tadi orang tua, ternyata usianya tak jauh beda denganku. Darimana ia belajar memetik senar-senar panting. Tuhan, aku bingung..tubuhku tiba-tiba panas dingin. Alat music dan pemainnya kini ada di hadapanku. Tapi kenapa aku takut dengan permainan panting anak itu?
“Namaku Alin…aku belajar panting sejak usia enam tahun. Ayah yang mengajariku, sidin dulu pemain panting . Kami sekeluarga pemain panting. Tapi, sejak ibu meninggal, ayah tak mau lagi memainkan music ini. Waktu itu, kami diundang orang, di jalan mobil yang kami tumpangi ditabrak truk batubara. Ibu meninggal di tempat, aku dan ayah masuk rumah sakit. Sayang, ayah tak bisa lagi berjalan. Sebelah kakiku juga tak bisa disembuhkan. Sampai sekarang, aku tak bisa berjalan normal. Aku malu dengan teman-teman, makanya aku memilih berhenti sekolah. Meski ayah sering melarangku memainkan panting, aku tetap nekad…soalnya tiap kali aku memainkan panting, ibu seolah-olah hadir bernyanyi di sampingku. Sampai akhirnya ayah maklum, dan tak melarangku lagi. Beginilah, kalau bengkel lagi sunyi aku memainkan panting. Sedikit menghibur….” Ucapnya tercekat menahan tangis.
“Alin..kamu tinggal sama siapa?’ tanyaku
“Berdua ayah,. Aku merawat ayah. Aku bekerja sebagai penambal ban untuk makan sehari-hari. Mengharap ayah normal seperti dulu, rasanya nggak mungkin. “ ucapnya pasrah.
Tak terasa mendengar cerita singkatnya kami menitikkan airmata. Kusembunyikan rapat-rapat. Kulirik Irma, si centil ini matanya memerah menahan haru.
“Eh..kalian koq bisa disini? “ tanya Alin
“Kami kempes ban,.kami mau ke Batu Hapu, tiba-tiba ban kempes dan kami tersesat kesini…” jawab Irma sekenanya menetralisir suasana.
“Oh..ya, kalau begitu, mari kita ke bengkel..maaf, bengkel sejak pagi sunyi, jadi aku milih main panting” ucap Alin. Ia mencoba bangun dengan tertatih. Kakinya pincang. Terseret-seret ia menuju bengkelnya. Kami mengiringinya dari belakang. Sekecil ini ia hidup dengan beban seberat itu? Jika itu terjadi pada kami, aku tak yakin sanggup menjalani.
Perjalanan ke Batu Hapu kami putuskan berhenti di bengkel Alin. Entah kenapa, hati kami cepat akrab dengan anak laki-laki yang penuh derita ini. Aku dan Irma sibuk memikirkan ide apa yang akan kami sampaikan nanti.
“Lin..” ucapku berbarengan dengan Irma.
“He..he..Indah. mau ngomong apa kamu..?” tamya Irma
“Kamu aja duluan, mau ngomong apa ke Alin”..jawabku
“Lin,..kapan-kapan pantingmu kurekam ya, nanti kuperbanyak, ayahku punya studio music..uang hasil CD mu nanti buat kamu dan ayahmu, mau nggak..ayahku pasti setuju..” kata Irma. Aku melongo.
“Indah..kalau kamu gimana?” tanya Irma
“Hmm…Lin, kamu mau nggak ngajarain kami music panting, nanti kami yang kesini, aku mau ngusul dulu sama Bu Guru, mudah-mudahan beliau setuju untuk kegiatan ekskul..Yah, mudah-mudahan aja sekolah punya dan cukup untuk pelatih ekskul, kalau nggak kami akan patungan buat bayar ke kamu sebagai pelatih..mau ya..mau ya Lin,,.mau dong..”” desak Indah.
Alin Cuma tersenyum. Ia tak bisa memberi jawaban pasti.
Usai menambal ban, aku mencubit lengan Irma dan mengedipkan sebelah mata. Isyarat ini biasa kami lakukan. Kukeluarkan isi dompetku dan kuserahkan ke Irma. Terkumpul dua puluh lima ribu. Dengan hati tulus kuserahkan ke Alin. Alin menolak. Ia hanya mengambil jatah tambal ban sebesar tujuh ribu rupiah. Kami tak ingin melukai perasaannya. Uang itu kumasukkan ke dompetku lagi. Alin kami minta memainkan panting kembali. Irama panting berdenting lagi. Lagu Uma-Abah mengalun merasuk ke hati…
Kami pamit. Hari ini tak jadi ke Batu Hapu tak apa-apa. Meski keindahan stalagtik tak jadi kami nikmati, tapi kami punya pelajaran berarti. Kami janji, kami pasti kembali.
Batu Hapu..Batu Hapu.. Legendamu terukir abadi..